♬ MIEW! ♬

Rabu, 06 Maret 2013

Here We Go Again! Review Novel Date Note (lagi)

Liburan semester menjelang libur tahun baruan itu memang lupaintugaskuliah-able banget. Saat liburan, sebenarnya bukan cuma tugas kuliah yang harusnya sejenak kita lupakan, tapi juga kenangan bersama mantan. Iya, gak ada gunanya mengenang kisah pahit kan? Cukup dijadikan pelajaran. Biarin aja Raffi Ahmad yang masih pengin balikan sama Yuni Shara, kita yang punya konsistensi tinggi lebih baik jangan. Eh, tapi itu urusan kalian pribadi sih, ngapain juga gue ngatur-ngatur. Memangnya gue pelatih bola? Terus, ini kenapa juga gue jadi ngelantur salah bahasan? Maksud hati mau review buku, malah jadi review mantan. *sigh*
Jadi, selama liburan akhir tahun ini, gue cuma menghabiskan waktu buat twitter-an sampe mata berair, sesekali download lagu ilegal, dan kadang-kadang baca buku. Baca buku mata kuliah? Hih! Bukan ya, itu bukan genre gue. *digetok dosen Rekayasa Perangkat Lunak*
Satu minggu yang lalu, gue dipinjemin buku bagus sama teman, judulnya “Date Note” karya Haris Firmansyah. Awalnya, gue ngira ini buku sejenis Si Anak Singkong-nya Chairul Tanjung, tapi ternyata prediksi gue meleset. Ya, gue memang gak berbakat ngeramal. Kasusnya hampir mirip sih kayak suku Maya yang ngeramal kalo pas tanggal 21 Desember 2012 itu hari kiamat. Bedanya, mereka dari suku Maya, sedangkan gue dari suku Dunia Maya. Intinya, kami sama-sama sotoy. Kami memang hina! Kami gak pantas hidup! Huhuhu.
Kembali ke Date Note. Gue baca buku ini sekitar 5 hari, dan baru kelar baca tepat di penghujung tahun 2012. Baiklah, mari kita sejenak menundukkan kepala dan mulai aja review-nya!


Judul      : Date Note; Memoar Korban Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Penulis    : Haris Firmansyah
Penerbit   : Bentang Belia (Februari, 2012)
Tebal        : viii + 180 Halaman
Harga       : Rp. 34. 000 
Jatuh bangun Haris dimulai dari menjadi pengagum rahasia Cinderella, galau karena harus CLBK berkali-kali, kena karma kencan buta, labil ngejalanin LDR, sampai nekat nulis surat buat istri di masa depan! 

“Sepenyok-penyoknya panci, pasti ada tutupnya juga.” Apa prinsip ini berlaku juga untuk kisah cinta Haris? Simak cerita konyolnya di buku ini!  

Dua kata buat buku ini: menarik dan menghibur. Date Note adalah semacam buku personal literature. Buku ini berisi curhat pengalaman cinta penulis. Mulai dari cerita cecintaan monyet, PDKT sama cewek, ditolak gebetan, sampe cerita ngenes bareng mantan pacar. Tapi, ini bukan buku curhat yang menye-menye dan butuh solusi ampuh dari pembaca. Karena, Haris punya pesan tersendiri dalam setiap bab di akhir ceritanya. Haris menuangkan cerita dengan gaya komedi, kekonyolan, dan gak bikin mikir keras. Kalo misal kalian lagi boker dan pup-nya susah keluar, boleh deh sambil bawa buku ini. Buat dibaca? Gak harus sih, bisa juga bukunya dipake buat nepuk-nepuk pantat biar proses bokernya lancar. *kemudian gayung berterbangan*
Buku ini juga bisa jadi panduan buat para abege labil yang rumit dalam percintaan atau para remaja yang suka berselancar di dunia maya, agar lebih berhati-hati bergaul di zaman kecanggihan teknologi yang serba maju ini. Dimulai dari cerita Haris yang masih SD terjebak dengan yang namanya cinta monyet tapi gak berani nembak, mulai PDKT saat SMP dan tapi bertepuk sebelah tangan, lanjut ke cecintaan masa SMK-nya yang gak kalah ribet. Gue gak tahu, ini kok si Haris kerjaannya hunting pacar aja sekolah. Duuuuh, kelakuan…
Bagian favorit gue di buku ini adalah bagaimana perjuangan Haris menemukan cinta yang pantas buat dia. Karena, menurut gue pribadi, memang ada cinta yang cuma datang sekelebat mata dan ada cinta yang memang pantas untuk diperjuangkan. Busyet dah omongan gue, keren gak tuh?

"Untungnya jatuh cinta itu GRATIS. Seandainya orang harus membayar untuk MENCINTAI, pasti saya sudah bangkrut sejak SD." - Date Note

Gue juga mau acung jempol buat editor dan ilustrator di buku ini. Kalimat tanpa typo sedikit pun dan menjunjung tinggi EYD padahal bahasanya anak muda banget, bikin gue betah baca. Ilustrasi isi dengan karakter kartun yang bedebah bikin ngakak spontan. Ah, sungguh memanjakan pembaca. Agak lebay ya bahasa gue? Biarin!
Oh iya, buat yang mungkin timbul pertanyaan ada gak kaitannya buku Date Note ini sama komik Jepang, Death Note? Hmm, jawabannya ada di bab terakhir. Baca sendiri aja ya. Apa? Mau pinjem? Gue aja dapat minjem nih. Hiks. Eh, udah dulu ya, segini aja review-nya. Bukunya udah ditagih nih, mau dibalikin sama yang punya.
Akhir kata… Gue, Uki, Loekman, Reza, dan David; mengucapkan selamat tahun baru 2013. KALIAN LUAAAR BIASAAA!

*copas dari http://ridoarbain.blogspot.com/2013/01/review-date-note-haris-firmansyah.html ;)

Review Novel Itik Bali (lagi-lagi)

 


Itik Bali...

Niat hati ingin mencari bacaan yang ringan, akhirnya tangan membuka buku ini. Ah, ternyata banyak ilustrasi gambar unyu di dalamnya, jadi malu sendiri pas baca di angkutan umum. Diambil dari blog-nya Dyah Ayu dengan judul yang sama dengan bukunya. Sebutan Itik ini muncul pertama kali ketika Ayu tertangkap basah sedang membeli makanan di kantin ketika acara MOS SMP sedang berlangsung. Tak tanggung-tanggung, yang menangkapnya ialah ketua MOS-nya, Kak Pretty, yang celakanya Ayu memanggilnya Mbak Pret, sehingga murkalah ia dan muncullah panggilan itik ini. Entah, ini kejadian nyata atau bukan, saya kurang tertarik untuk lebih lanjut membuka blognya.

Hm, absurd sih buku ini. Isinya gak ada serius-seriusnya. Bayangkan saja, masa dijelaskan secara gamblang di buku ini kalo upil (upil sering sekali disebutkan di buku ini), bisa menjadi pengganti garam untuk makanan. Keren kan? Nah, gimana kalo gak percaya bahwa upil bisa menggantikan garam? Coba saja cicipi sendiri.

Buku ini pun berisi curhatan si penulis yang ingin jadi artis, gak pernah punya genk, merasa mirip Nikita Willy, serta gak pernah punya cowok! Juga ada tips-tips buat cowok-cowok dalam mendapatkan cewek, serta kriteria cowok-cowok yang ada di dunia ini, tentu saja versi si itik bali. Ada juga pertanyaan-pertanyaan absurd semacam kuisioner di buku ini. Ya, dan tentunya gak usah diseriusi, karena pastinya ngaco, tapi lumayan menghibur sih, walaupun gak sampai bikin ngakak.

Cukup deh buat buku yang ditulis oleh seorang pelajar. Tapi tanya kenapa, pelajar di Amerika sana bisa menulis Eragon, sedangkan genre buku ini sangat jauh berbeda dengan Eragon, hihi... Ah, yang penting buku telah terbit, sungguh suatu kebanggan bisa menulis suatu buku, dan jalan kesana pun tidaklah mudah. Maka dari itu, saya beri rate 3 dari 5 bintang, walaupun banyak kekurangan yang kurang disaring disana-sini, tetapi memang beginilah bacaan yang cocok sementara ini untuk anak-anak seumuran si penulis (tentunya dengan pengawasan orang tua).


Judul Buku: Itik Bali
Penulis: Dyah Ayu
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 180 hal.
Rate: 3/5

Review Novel Itik Bali (lagi)

Itik Bali: Amis tapi Nyata

Genre: Personal Literature
Penulis: Dyah Ayu
Penerbit: Bentang Belia
Buku ini ditulis oleh seorang blogger remaja asal Bali yang beralamatkan di www.itikbali.com. Blogger bernama asli Dyah Ayu ini sukses menerbitkan buku pertamanya. Entah bagaimana caranya bukunya itu bisa terbit. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Hehehe.
Tapi…. Sewaktu membaca dari awal sampai akhir, agak-agak sulit menemukan benang merahnya. Mau dibilang Personal Literature kayak ‘Bule Juga Manusia’, nyatanya sebagian tulisannya itu kebanyakan tips dan trick. Jadi agak bingung sama esensi buku ini. Mau dibilang buku tips, nyatanya bersumber dari pengalaman sehari-harinya dia. Anyone knows? :P
Hmm, mungkin buku ini setelah dilihat-lihat lagi isinya, memang ditujukan untuk remaja. Soalnya kebanyakan isinya yah berhubungan sama dunia remaja, khususnya percintaannya. Atau bisalah, buku ini dikategorikan sebagai buku humor. Karena isinya memang bisa bikin ketawa, khususnya ilustrasi-ilustrasi yang ada di bukunya. Font yang digunakan juga unik. Unyuuuuu. Hehehe. Oh yah, saking banyaknya ilustrasi unyunya, jadi teringat sama buku 'The Diary of Amos Lee'.
Sedikit ilustrasi di bukunya yang menurutku, so cute. Hehehe.
Overall, nilai yang bisa diberikan adalah 6,5 dari 10. Kalau aja lebih sistematis dan terarah, mungkin bisa dapat nilai 8 atau 10. :)

*copas dari http://immanuels-notes.blogspot.com/2012/02/sudah-pasti-mereview-dua-buku-sekaligus.html ;)

Review novel PING! oleh Haris Firmansyah

Catatan Harisan Tentang PING

#SaveOrangUtan

Sungguh, saya penasaran dengan buku ini. Bagaimana tidak penasaran? Buku ini adalah Juara 1 Lomba 30 Hari 30 Buku Bentang Belia. Naskah duet antara Mbak Riawani Elyta dan Mbak Shabrina WS ini berhasil menyisihkan ratusan pesaing lainnya.


Sampai akhirnya, satu minggu yang lalu saya kesampaian dapat buku ini. Dikirim langsung dari salah satu penulisnya dan mendapat bonus tanda tangan beserta salam dari orang utan. Keren.


Secara presentasi, sampul bukunya sangat menarik. Ilustrasi orang utan di dalam bukunya juga unyu. Ciri khas goresan tangan Kak Itsna Hidayatun. Saya selalu jatuh cinta dengan karya beliau. Dan yang menjadi trademark Bentang Belia lainnya adalah pembatas bukunya yang didesain secara unik. Tidak melulu pembatas buku itu berbentuk persegi panjang. Kadang yang bentuknya kayak sendal malah keren.


Mengenai ceritanya, saya rasa memang tidak biasa. Karena yang berbeda memang yang dicari. Bayangkan, dua penulis bergotong-royong membuat satu cerita secara estafet.

Setiap ganti bab, langsung ganti penulis dan ganti sudut pandang. Tapi ketika membacanya, saya tidak merasakan keanjlokan gaya tulisan dari dua kepala. Keduanya saling melengkapi dengan halus. Mbak Shabrina begitu khusyu memainkan peran sebagai orang utan. Begitu juga Mbak Riawani yang lihai merangkai kata sebagai remaja yang anti-pacaran.

Kepiawaian keduanya dalam menulis tidak perlu diperdebatkan lagi. Mereka sudah berpengalaman menulis beberapa novel sebelumnya. Jadi, marilah kita fokus ke pesan yang ingin mereka sampaikan. Isi dari a message from Borneo itu sendiri.


Dari tulisan mereka yang telah saya baca, pesan yang coba mereka sampaikan begitu dalam. Semacam, "Sayangilah orang utan seperti engkau menyayangi saudaramu sendiri karena mereka mirip manusia." Ya, 90% lebih DNA orang utan sama dengan manusia. Jadi, orang utan juga bisa stress, frustasi dan trauma. Saya kira manusia sama sapi aja yang bisa gila. Mungkin kalau orang utan dikasih BlackBerry, mereka bakal broadcast-broadcast minta diselamatkan. Inilah kenapa orang utan yang jadi tokoh utama di buku ini dikasih nama Ping.


Kita harus peduli dengan orang utan yang semakin langka karena perburuan liar. Mereka ada yang dibunuh, dijual bahkan dipenggal. Begitu miris. Coba bayangkan perasaan anak orang utan yang ditinggal pergi orang tuanya. Mereka melihat secara langsung ibu mereka dibantai oleh manusia tak bermoral. Betapa tragisnya hidup mereka.


Salah satu hal yang patut kita contoh dari buku ini adalah kekuatan pesannya. Sebuah buku bisa "hidup" karena ada "ruh" berupa pesan yang terkandung di dalamnya. Sebelum menulis, alangkah baiknya kita memikirkan pesan apa yang ingin disampaikan. Seperti kasusnya Mbak Shabrina yang ingin mengajak orang lain peduli orang utan, maka menulislah ia tentang fabel bertema orang utan. Mbak Riawani yang ingin menggalakkan anti pacaran sebelum nikah, maka menulislah ia tentang kisah Molly.


Moral of the day: Orang utan itu takarannya seperti setengah manusia. Kalau kita membunuh dua orang utan berarti kita sama saja membunuh manusia. Karena setengah tambah setengah sama dengan satu.


Hikmah: Bagian yang paling saya suka dari buku ini adalah halaman belakangnya. Karena di situ ada iklan Date Note.

Review novel PING! (lagi)

[review] PING! Pesan Luka Dari Tanah Borneo

Review dari Yazmin Aisyah--Lampung

 

Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagimana harus menamai jejak-jejak itu :
luka. (hlm 2)

Luka… luka… luka… ternyata bukan hanya makhluk bernama manusia saja yang bisa merasakan luka. Luka batin yang bahkan lebih luka daripada hanya sekedar goresan. Di tanah tercintanya itu, Ping merasakannya, menularkan padaku lewat lembaran kertas bertinta. Aku merasakannya, bahkan hanya dengan membayangkannya saja, ada yang terasa melelah di sini, hati.
Petualangan Molly bersama dua sahabatnya, Nick dan Andrea ke tanah Borneo mempertemukan mereka. Ping yang dengan terpaksa menerima Karro sebagai nama barunya, ternyata menyimpan luka itu dalam memorinya. Terpenjara di dalam keseluruhan bayangan peristiwa yang ia saksikan sendiri. Membuatnya menjadi begitu berbeda. Ya, siapa pula yang tak kan terguncang jika menyaksikan Ibu tercinta mati di depan matanya sendiri. Ibu yang telah melahirkan, menyusui dan mengajarinya mencintai alam, tempat di mana hidup memberi mereka kebahagiaan. Demi pembukaan lahan sawit, Ping terpaksa menyaksikan hutan tercintanya binasa, kedua Ibunya diam tak bersuara, dan nasibnya sendiri, kini entah akan berakhir dimana.
Sampai mata bening itu datang…
                Dan sejak saat itu, aku selalu berharap dia akan kembali datang (hlm 105)
Dia, yang dari tatapan dan senyumnya, telah memberiku satu kekuatan yang membuatku kembali menemukan diriku yang dahulu meski tak mungkin utuh lagi (hlm 113)

Ping dan Molly, dua makhluk yang berbeda, tapi ditautkan oleh satu rasa. Cinta. Molly yang begitu mencintai alam jatuh hati pada Ping kecil yang masih membutuhkan kasih sayang, namun harus merasakan kehilangan bertubi-tubi. Dan Molly hadir meski sejenak dengan cinta yang memancar lewat mata beningnya. Akankah luka jiwa Ping tersembuhkan? Apa yang dilakukan Molly kemudian?  Akankah ia menerima Archie menjadi kekasihnya? Archie yang notabene adalah anak pemilik perusahaan sawit, yang hutannya sejatinya adalah milik Ping. Temukan jawabannya dalam buku keren ini yaaa…
^_^
******


Pertama melihat covernya, aihhh lucu banget, remaja banget, dengan gambar empat orang remaja yang salah satunya menggendong anak orang utan. Eittsss, perlu diketahui sodara-sodara, Mbak Brin ini adalah pecinta binatang sejati. Mulai dari kucing yang imut, komodo yang ganteng (:P) sampe orangutan yang manis (:D). aku sengaja melewatkan dulu ucapan terimakasihnya, langsung ke bab 1. Beneran udah gak sabar. Membaca halaman pertama, aku tahu kalau bagian itu adalah tulisan Mbak Brin. kalimatnya khas banget : Bulan tua pucat di balik awan tipis (kalimat pertama). Apalagi itu ditulis dari sisi si Ping-nya. Membaca kalimat berikutnya, aku mulai terhanyut akan keindahan bahasanya (cirri khas Mbak Brin banget) namun, membalik halaman, aku mulai tergetar oleh sesuatu, luka, yang dirasakan oleh Ping.
Menulis novel duet sungguh bukan hal mudah. Menyatukan dua kepala dalam satu ide tentu menunut kesabaran dan toleransi tingkat tinggi. Tak ada egoisme meski masing-masih tetap mempertahankan cirri khas tulisannya sendiri. Mbak Brin, dari sisi Ping, sang orang utan mungil, menyajikan tulisan yang mennghanyutkan, dan bias dipastikan tak hanya sekedar menulis, tapi juga meriset serta mengumpulkan banyak data agar tulisannya tak hanya menjadi sekedar fiksi semata. Sementara Mbak Riawani yang menulis dari sisi Molly, menyajikan tulisan yang lincah, bahasa yang segar khas remaja, namun tetap pada jalur etika yang diperbolehkan. Konflik tidak berpusat pada Molly dan kehidupan pribadinya, tapi dari Ping, yang kehilangn keluarga yang dicintainya. Tepat seperti tujuan utama novel ini : penyelamatan lingkungan. Sedikit mengganggu adalah waktu pertemuan Molly dengan Karro (Ping) yang tampak tak singkron. Pada Bab 6, Molly sudah bertemu dengan Ping, sementara pada Bab 7, Ping masih ada di hutan, menangisi kematian Ibu angkatnya. Hemm, apakah penulisnya punya maksud tersendiri menempatkan alur cerita yang demikian? Mungkin ada yang tidak tertangkap nalar saya, yuk, kita tunggu penjelasannya.  Diluar itu : dua jempol untuk Ping!

The last but not least, setelah membaca bagian akhir, biodata penulis, saya kembali ke halaman depan dan membaca pengantar dan ucapan terimakasih dari dua penulis yang mengagumkan ini :
                …. Serta Anda semua yang telah peduli dan menjaga karunia yang telah dititipkan Tuhan untuk kita (Shabrina W.S)
                …. Menggugah awareness kita untuk tetap menjaga karunia, harta terindah yang kita miliki untuk kelangsungan hayati hingga ke anak cucu kelak. (Riawani Elyta)

Amazing!
Atau lihat juga di sini
 
*copas dari http://shabrinaws.blogspot.com/search?updated-max=2012-05-20T03:42:00%2B07:00&max-results=2&start=4&by-date=false  ;)

review novel Lonely Hearts Club (lagi)

Lonely Hearts Club, Remaja, dan Beatles

Feb 7, 2012 by



Waktu itu, saya sudah tahu bahwa Retno menggarap karya Elizabeth Eulberg lainnya, yakni Prom and Prejudice. Bisa dibilang ini karya terjemahan berbau remaja ‘murni’ yang pertama. Benar-benar kehidupan gadis remaja dengan problematikanya yang khas dan berbau kontemporer (lain dengan Pollyanna Grows Up). Saya salut pada kelihaian penulis menyelami sudut pandang ABG (di sini Penny Lane, karakter sentralnya, masih SMA) dan keseluruhan cerita mengalir bagaikan menonton film komedi romantis yang tentu saja bertemakan remaja.

Elizabeth Eulberg membahas bukunya ini tahun 2009
Sungguh menyegarkan setelah berbulan-bulan menggeluti fantasi waktu itu. Untuk penghayatan, selain membaca dulu buku aslinya sampai tuntas, saya menyimak riset pengarang yang ternyata melibatkan salah satu grup legendaris dunia dan difavoritkan oleh Penny Lane sekeluarga di buku ini: The Beatles. Terantuklah saya pada film ini, yang nahasnya malah membuat saya sedih berhari-hari dan kontradiktif dengan suasana The Lonely Hearts Club yang ceria. Kemuraman itu cair dengan sendirinya ketika saya mulai menerjemahkan ditemani lagu-lagu, yang disebutkan dalam novel ini, kendati liriknya masih menyerempet sedih juga.

Help me get my feet back on the ground…
Alih bahasanya sudah jelas menciptakan tantangan. Salah satu rujukan saya dalam menggarapnya ialah Flipped yang begitu lincah di tangan Sylvia L’Namira. Alhamdulillah setelah dibaca ulang, selain proses proofread dan penyesuaian bagian-bagian tertentu, secara umum terjemahan saya dinilai berterima oleh kedua penyunting.
Berikut salah satu contohnya:
He was a guy.  A guy guy. 
Saya terjemahkan: Ryan itu cowok. Cowok banget. (hal. 25)
Bab-bab ini diberi judul oleh penyunting dengan polesan bahasa gaul masa kini. Misalnya bab tempat kalimat di atas berada, dijuduli Bad Mood Tingkat Dewa.
Kaver dan ilustrasi isi adalah kreasi Itsna Hidayatun, pemilik nama ngetop Miew.
Yang saya sukai dari cerita ini, Penny Lane bukan tipikal stereotipe ‘korban patah hati’ yang minder, kutu buku, harus mengubah penampilan dan sebagainya. Justru ia gadis yang menarik. Di sini penulis seperti berpesan bahwa yang cantik-cantik pun belum tentu ‘lolos’ dari patah hati. Sedangkan karakter favorit saya adalah Tracy, sahabat Penny yang spontan dan tegas.

*copas dari http://www.rinurbad.com/lonely-hearts-club/ ;)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...